Usulan dari kami sebagai Koalisi Warga Jakarta terhadap RTRW 2030
Jakarta Rivercity
Blue (.) as a Way to Achieve Sustainable Jakarta
By Denny Setiawan,S.T
“Ini tentang sungai di Jakarta, dan masa depan Jakarta 20 tahun kelak. Ini tentang hidup berbudaya di sebuah kota dan bagaimana menghargai sungai sebagai sebuah cara berbudaya di sebuah kota”
#1 sungai sebagai potensi
Masyarakat dunia kemudian mengenal sebuah kota bernama Venezia sebagai sebuah destinasi wisata sungai. Di sana, sungai dibuat cantik sehingga dijadikan destinasi wajib bagi mereka yang gemar berwisata. Tahukah anda bahwa ternyata kota Venezia hanya memiliki 1 aliran sungai besar yang mereka sebut sebagai grand canal atau grande canale dalam bahasa italia. Namun keindahan sungai tersebut mampu menghidupkan kota di sebuah pulau di timur laut italia tersebut.
Kisah sukses grand canal menghidupkan kota mengajak kita juga terbang ke Bilbao, disana tepi sungai yang dihiasi sebuah museum monumental bernama guggenheim museum berhasil menghidupkan kembali denyut ekonomi sebuah kota yang hampir mati akibat sisa-sisa perang dan pemberontakan.
gambar 2 : guggenheim museum 
2 Cerita sukses di atas mengajak kita semua untuk kembali melihat sebuah sungai sebagai sebuah potensi ekonomi yang sebenarnya perlu kita manfaatkan. Kalau kita menarik kembali ke masa-masa primitif, dunia mencatat sebuah cerita dimana sebuah peradaban terjadi di sekitar sungai Nil, juga demikian dengan bangsa China yang peradabannya dimulai dari peradaban di sekitar sebuah aliran sungai bernama sungai kuning.
Sungai, dahulu, kini, dan seharusnya nanti semestinya dilihat sebagai sebuah potensi, bukan awal dari terjadinya serangkaian bencana. Lihat bagaimana usaha gigih seorang pastur (yang kebetulan berpendidikan arsitektur) YB. Mangunwijaya menata budaya bersungai di kawasan kali code, Juga lihat kepedulian seorang ketua RW di kawasan Petojo yang mendorong warganya untuk memanfaatkan MCK umum dibanding membuang kotorannya langsung ke sungai. Mereka adalah sedikit dari sekian banyak kaum intelektual yang mencoba melihat kembali potensi sungai sebagai salah satu alternatif menghidupkan kembali kota. 
Pernyataan yang kemudian harusnya timbul adalah, bukankah jika pemberdayaan sungai-sungai di Jakarta dapat kita lakukan secara masif, sungai dapat ikut memberi kontribusi positif bagi ekonomi kota, atau bukan hanya sebagai “biang keladi” bencana siklus 5 tahunan?
gambar : banjir sbg siklus 5 tahunan
#2 sungai-sungai di Jakarta
Jakarta, kota berpenduduk 13 juta jiwa di siang hari, dan 9 juta jiwa di malam harinya merupakan ibukota sebuah negara berkembang bernama Indonesia. Di kota tersebut terdapat 13 aliran sungai -catat, 13 aliran sungai, berbanding 1 sungai yang dimiliki Venezia, bukankah ini potensi?- yang kesemuanya menjadi terlantar akibat keacuhan warga masyarakatnya sendiri. Bayangkan, hingga tahun 2010, sebuah dekade yang kita sebut sebagai dekade post-millenium, warga Jakarta dan beberapa kota di Indonesia masih saja menganggap sungai sebagai tempat sampah bersama. Lihat bagaimana pemukiman bantaran kali di kota-kota tersebut bersama-sama memantatkan rumahnya ke aliran 13 sungai tersebut, bukankah ini adalah sebuah indikator bahwa sebenarnya terjadi kesalahan pada cara kita memperlakukan sungai-sungai tersebut selama ini?
Mari kita lihat sejarah kota ini. Kota Jakarta adalah sebuah kota pelabuhan -dimulai di pelabuhan sunda kelapa-. Kota ini kemudian didesain menyusuri sungai di kawasan Gajah Mada-Hayam Wuruk sebagai aksis kota dari pelabuhan menuju pusat pemerintahan kini. Sebelum itu, Belanda melihat potensi kali besar sebagai vena pemerintahan dan perdagangan VOC kala itu. Tidak heran city hall yang kini kita kenal sebagai museum sejarah Jakarta atau museum Fatahillah diletakan tidak jauh dari sungai tersebut. Indikasi ini adalah penanda bahwa sebenarnya kota ini didesain secara sadar akan potensi sungai. Namun kini?
Ntah siapa yang salah -mungkin memang tidak perlu lagi kita cari siapa yang salah-, masyarakat sudah melupakan romantisme sejarah bersama sungai tersebut. Budaya bahwa kita seharusnya hidup selaras dengan alam, dalam hal ini sungai-sungai di Jakarta seperti tidak berbekas dari cara bersikap kita terhadap sungai. Kesantunan untuk tidak membuang sampah ke sungai tidak lagi ada. Rasa sungkan ketika dilihat orang lain sewaktu membuang sampah ke sungai-pun telah hilang, Lalu, bagaimana kita dapat berharap sungai kita dapat berkontribusi positif kepada kualitas hidup berkota jika sungai terus diperlakukan seperti ini?
Kalau kita perhatikan bagaimana struktur sungai di Jakarta, kita dapat merasakan bahwa sungai di jakarta seperti nadi di tubuh kita. Nadi di tubuh kita berguna untuk membagi nutrisi keseluruh tubuh. Nutrisi tersebut yang memberi asupan tenaga, dan perintah bagi seluruh organ tubuh untuk bertindak sesuai perannya masing-masing. Sungai di Jakarta-pun begitu, tidak ada 1 pemukiman pun yang terletak terlalu jauh dari sungai. Namun kini, ibarat nadi, Sungai di Jakarta seperti berlemak di sana sini, tersumbat di sana sini oleh sampah dan tinggal menunggu saja bencana besar itu terjadi. Dari mana asal mula lemak tersebut? tidak lain, dan juga tidak bukan adalah berasal dari sampah rumah tangga masyarakat yang karena telah lenyapnya budaya kesantunan kita terhadap sungai di buang dengan begitu saja ke dalam sungai. Lalu kalau sudah banjir, siapa yang salah? -biasanya sih banjir itu disebut sebagai coban dari Tuhan, ironis-
#3 Jakarta Rivercity
Sebagai manusia yang pada dasarnya memiliki kemampuan hebat dalam pendahuluan keluhan, dan percepatan penundaan, memang terus saja kita maklum dengan begitu banyaknya komplain warga Jakarta terhadap kualitas sungai, namun pertanyaannya yang layak kita kedepankan untuk 2030 nanti, apa yang bisa dilakukan melihat potensi 13 aliran sungai di Jakarta? 
mari kita lihat rancangan peraturan daerah (raperda) Jakarta 2030, disana disebutkan bahwa rencana pengendalian sungai adalah dengan:
“Mengembangkan prasarana dan sarana untuk pengendalian banjir dengan pengembangan sistem polder, pemulihan dan pengembangan situ dan waduk, normalisasi sungai serta pembangunan tanggul pengaman sungai dan laut.”
Normatif bukan?
Demikianlah yang terjadi apabila sungai diletakan sebagai pembawa bencana dan bukan sebagai sebuah potensi. Tulisan ini sesungguhnya mengajak kita bersama memahami sungai dari perspektif yang berbeda dari kacamata penyusun raperda tersebut. Sejak awal tulisan ini disusun, sungai ditempatkan dalam sebuah mindset pengembangan potensi sungai untuk kehidupan kota yang berkelanjutan. Bagaimana caranya?

Proyek ini disebut sebagai Jakarta Rivercity, Blue (.) as a Way to Achieve Sustainable Jakarta. Proyek ini mencoba melihat kembali potensi apa saja yang bisa diperoleh ketika kita memanfaatkan sungai. mari kita buat daftar, apa saja potensi yang bisa dikembangkan dari sungai?
-  Sungai diJakarta hampir terdapat di seluruh pelosok kota
-  Badan sungai di Jakarta umumnya cukup lebar
-  Di atas aliran sungai, adalah ruang pertemuan bersama milik daerah yang seharusnya dapat digunakan sebagai perluasan ruang hijau kota yang hanya 9%
-  Di sekeliling aliran sungai terdapat warga masyarakat yang dapat merawat sungai apabila kapasitas kesantunan mereka dibangun
-  Aliran sungai di Jakarta cukup kencang untuk menggerakan turbin pembangkit listrik
-  Pasang surut permukaan air di atas sungai di Jakarta tidak terlalu ekstrim (kecuali terdapat limpahan air kiriman dari wilayah-wilayah penyanga seperti bogor dan sekitarnya)
-  dll
Dengan sekian potensi tersebut, mari kita lihat kelemahan yang kemungkinan membatalkan potensi-potensi besar yang diharapkan dari sungai. Kelemahan sungai yang ada adalah sbb:
-  Kesantunan dan penghormatan masyarakat terhadap sungai telah hilang, sehingga sungai dianggap sebagai tempat pembuangan sampah bersama
-  Air sungai di Jakarta kini keruh, berbau, dan mengantung toxic
-  Terdapat banyak masyarakat miskin yang tinggal di bantaran kali yang bersifat pragmatis terhadap sungai
-  Sedimentasi terjadi terus menerus sepanjang tahun
-  dll
Tapi, selain potensi dan kelemahan tersebut, ada juga kemungkinan-kemungkinan lain yang belum kita manfaatkan dengan baik. Kemungkinan-kemungkinan tersebut antara lain adalah:
-  Badan sungai adalah ruang terlantar yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik dan ruang hijau, ataupun ruang ekonomi bagi warga sekitar
-  Swasta memiliki dana corporate social responsibility (CSR) yang dapat disalurkan dalam hal pemberdayaan sungai dengan imbal jasa yang dapat dikendalikan dengan peraturan
-  Sampah yang terjaring pada masa pembersihan sungai dapat diendapkan guna menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan bersama
-  Kawasan bantaran kali dapat digunakan sebagai pusat peresapan air tanah ke lapisan tanah dalam
-  dll
Dari potensi, kelemahan, dan kemungkinan tersebut, maka tindakan-tindakan tersebut di bawah ini dapat dilakukan:
-  Merevitalisasi peran sungai-sungai di Jakarta
-  Meningkatkan kapasitas karakter masyarakat agar kembali santun terhadap sungai
-  Mengundang swasta untuk ikut peduli terhadap aset kota (dalam hal ini sungai)
-  Memanfaatkan sungai sebagai sumber daya energi dengan teknologi-teknologi tepat guna yang berkelanjutan
-  Menjadikan sungai sebagai perluasan ruang hijau kota yang menambah paru-paru kota
Dari analisa potensi, kelemahan, kemungkinan, dan tindakan di atas, maka sampailah pada usulan bagi Jakarta 20 tahun lagi yang lebih layak, lebih ramah, dan lebih berkelanjutan. Proposal proyek yang diberi nama Blue Dot for Jakarta Rivercity ini berkisar pada pembuatan sebuah ponton mengapung di atas sungai di setiap RW yang dilintasi sungai.
*bersambung... 
DESAIN USULAN  kepada pemerintah kota mengenai sungai sungai di jakarta sebagai sebuah New Blue dot
.
BKB TAHUN 2030 :
![]()  | 
| kampung melayu 2010 | 
![]()  | 
| Kampung melayu 2030 | 




















Komentar
Posting Komentar